BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam
pelayanan kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin meningkat, sehingga
diharapkan adanya pemberi pelayanan kesehatan dapat memberi pelayanan yang
aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika
harapan ini tidak terpenuhi, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk
membelahak-haknya.
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang tepat untuk mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan pengobatan yang dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai komite etik untuk meninjau praktik profesional dan memberi pedoman bila hak-hak klien terancam. Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga pemberi pelayanan kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk tetap memberikan informasi kepada klien dan keluarganya bertanggung jawab terhadaptindakanyangdilakukan.
Selain dari pada itu penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Kesehatan no 23 tahun 1992. Praktik keperawatan merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya melalui registrasi, seritifikasi, akreditasi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan serta pemantauan terhadap tenaga keperawatan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Terjadinya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradgima sehat yang lebih holistic yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai focus pelayanan (Cohen, 1996), maka perawat berada pada posisi kunci dalam reformasi kesehatan ini. Hal ini ditopang oleh kenyataan bahwa 40%-75% pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan (Gillies, 1994), Swansburg dan Swansburg, 1999) dan hampir semua pelayanan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun di tatanan pelayanan kesehatan lain dilakukan oleh perawat. Hasil penelitian Direktorat Keperawatan dan PPNI tentang kegiatan perawat di Puskesmas, ternyata lebih dari 75% dari seluruh kegiatan pelayanan adalah kegiatan pelayanan keperawatan (Depkes, 2005) dan 60% tenaga kesehatan adalah perawat yang bekerja pada berbagai sarana/tatanan pelayanan kesehatan dengan pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu, merupakan kontak pertama dengan sistem klien (1).
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang tepat untuk mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan pengobatan yang dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai komite etik untuk meninjau praktik profesional dan memberi pedoman bila hak-hak klien terancam. Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga pemberi pelayanan kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk tetap memberikan informasi kepada klien dan keluarganya bertanggung jawab terhadaptindakanyangdilakukan.
Selain dari pada itu penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Kesehatan no 23 tahun 1992. Praktik keperawatan merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya melalui registrasi, seritifikasi, akreditasi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan serta pemantauan terhadap tenaga keperawatan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Terjadinya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradgima sehat yang lebih holistic yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai focus pelayanan (Cohen, 1996), maka perawat berada pada posisi kunci dalam reformasi kesehatan ini. Hal ini ditopang oleh kenyataan bahwa 40%-75% pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan (Gillies, 1994), Swansburg dan Swansburg, 1999) dan hampir semua pelayanan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun di tatanan pelayanan kesehatan lain dilakukan oleh perawat. Hasil penelitian Direktorat Keperawatan dan PPNI tentang kegiatan perawat di Puskesmas, ternyata lebih dari 75% dari seluruh kegiatan pelayanan adalah kegiatan pelayanan keperawatan (Depkes, 2005) dan 60% tenaga kesehatan adalah perawat yang bekerja pada berbagai sarana/tatanan pelayanan kesehatan dengan pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu, merupakan kontak pertama dengan sistem klien (1).
1.2.
RumusanMasalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah makalah ini, sebagai
berikut :
1.
seperti apakah prinsip-prinsip dalam praktek legal dalam
keperawatan ?
2.
bagaimanakah perlindungan hukum dalam praktik keperawatan
?
3.
mengapa dalam praktek keperawatan perlunya perlindungan
hukum keperawatan ?
1.3. Tujuan Masalah
1.
Dapat
mengetahui batas standar pelauanan keperawatan.
2.
Menilai
mana yang boleh dan tidaknya perawat untuk menjalankan praktik keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
Malpraktek
Malpraktek
adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi
atau standar prosedur oprasional.Untuk malpraktek kedokteran juga dapat dikenai
hukum kriminal. Malpraktek
kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah
melanggar undang-undang hukum pidana. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran,
kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat-obatan, pelanggaran dalam
sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada
pasien.
Adapun pengertian dari malprakrek lainnya adalah
kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menterapkan tingkat
ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan
perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan
merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama. Ellis dan
Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik
dari kelalaian (negligence) yang ditujukan kepada seseorang yang telah terlatih
atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekejaannya.
Terhadap malpraktek dalam keperawatan maka malpraktik adalah suatu batasan yang
dugunakan untuk menggambarkan kelalaian perawat dalam melakukankewajibannya.
Tindakan yang termasuk dalam malpraktek
Tindakan yang termasuk dalam malpraktek
1.
Kesalahan diagnosa
2.
Penyuapan
3.
Penyalahan alat
4.
Pemberian dosis obat yang salah
5. Alat-alat
yang tidak memenuhi standar kesehatan atau tidak steril.
Dampak
yang terjadi akibat malpraktek
a)
Merugikan pasien terutama pada fisiknya bisa menimbulkan cacat
yang permanen.
b)
Bagi petugas kesehatan mengalami gangguan psikologisnya,
karena merasa bersalah.
c)
Dari segi hukum dapat dijerat hukum pidana.
d)
Dari segi sosial
dapat dikucilkan oleh masyarakat .
e)
Dari segi agama mendapat dosa.
f)
Dari etika keperawatan melanggar eitka keperawatan bukan
tindakan professional.
2.2.
Kelalaian
Kelalaian
bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia bertindak tak
acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Akan
tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak
memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi
jika sampai merenggut nyawa, maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian
berat. Kelalaian adalah suatu sikap seseorang dimana dalam melakukan suatu
tindakan ia tidak berhati-hati. Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa
kelalaian dapat bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati - hati,
acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain tetapi
akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum
atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera
kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya, namun jika kelalaian itu
mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut nyawa orang
lain ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat, serius dan criminal.
2.3.
Pertanggunggugatan
Dan Pertanggungjawaban
2.3.1.Pertanggunggugatan
Pertanggunggugatan Yaitu suatu
tindakan gugatan apabila terjadi suatu kasus tertentu.
Contoh:
Ketika dokter memberi instruksi kepada perawat untuk memberikan obat kepada pasien tapi ternyata obat yang diberikan itu salah, dan mengakibatkan penyakit pasien menjadi tambah parah dan dapat merenggut nyawanya. Maka, pihak keluarga pasien berhak menggugat dokter atau perawat tersebut.
Ketika dokter memberi instruksi kepada perawat untuk memberikan obat kepada pasien tapi ternyata obat yang diberikan itu salah, dan mengakibatkan penyakit pasien menjadi tambah parah dan dapat merenggut nyawanya. Maka, pihak keluarga pasien berhak menggugat dokter atau perawat tersebut.
2.3.2.Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban yaitu suatu
konsekuensi yang harus diterima seseorang atas perbuatannya.
Contoh:
Jika ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter dan pihak keluarga pasien tidak terima karena kondisi pasien semakin parah maka, dokter akan bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya.
Jika ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter dan pihak keluarga pasien tidak terima karena kondisi pasien semakin parah maka, dokter akan bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya.
2.4.
Situasi Yang Harus Dihindari Oleh
Perawat
2.4.1.Kelalaian
Seorang perawat bersalah karena
kelalaian jika mencederai pasien dengan cara tidak melakukan pekerjaan sesuai
dengan yang diharapkan ataupun tidak melakukan tugas dengan hati-hati sehingga
mengakibatkan pasien jatuh dan cedera.
2.4.2.Pencurian
Mengambil sesuatu yang bukan milik
anda membuat anda bersalah karena mencuri. Jika anda tertangkap, anda akan
dihukum. Mengambil barang yang tidak berharga sekalipun dapat dianggap sebagai
pencurian.
2.4.3.Fitnah.
Jika anda membuat pernyataan palsu
tentang seseorang dan merugikan orang tersebut, anda bersalah karena melakukan
fitnah. Hal ini benar jika anda menyatakan secara verbal atau tertulis.
2.4.4.False imprisonment
Menahan tindakan seseorang tanpa
otorisasi yang tepatmerupakan pelanggaran hukum atau false imprisonment.
Menggunakan restrein fisik atau bahkan mengancam akan melakukannya agar pasien
mau bekerja sama bisa juga termasuk dalam false imprisonment. Penyokong dan
restrein harus digunakan sesuai dengan perintah dokter.
2.4.5.Penyerangan dan pemukulan
Penyerangan artinya dengan sengaja
berusahan untuk menyentuh tubuh orang lain atau bahkan mengancam untuk
melakukannya. Pemukulan berarti secara nyata menyentuh orang lain tanpa
ijin.Perawatan yang kita berikan selalu atas ijin pasien atau informed consent.
Ini berarti pasien harus mengetahui dan menyetujui apa yang kita rencanakan dan
kita lakukan.
2.4.6.Pelanggaran privasi
Pasien mempunyai hak atas kerahasiaan
dirinya dan urusan pribadinya. Pelanggaran terhadap kerahasiaan adalah
pelanggaran privasi dan itu adalah tindakan yang melawan hukum.
2.4.7.Penganiayaan
Menganiaya
pasien melanggar prinsip-prinsip etik dan membuat anda terikat secara hukum
untuk menanggung tuntutan hukum. Standar etik meminta perawat untuk tidak
melakukan sesuatu yang membahayakan pasien. Setiap orang dapat dianiaya, tetapi hanya orang tua dan
anak-anaklah yang paling rentan. Biasanya, pemberi layanan atau keluargalah
yang bertanggung jawab terhadap penganiayaan ini. Mungkin sulit dimengerti
mengapa seseorang menganiaya ornag lain yang lemah atau rapuh, tetapi hal ini
terjadi. Beberapa orang merasa puas bisa mengendalikan orang lain. Tetapi
hampir semua penganiayaan berawal dari perasaan frustasi dan kelelahan dan
sebagai seorang perawat perlu menjaga keamanan dan keselamatan pasiennya.
2.5.
Perlindungan Hukum Dalam Praktik
Keperawatan
2.5.1.Masalah Dalam Praktek Keperawatan
Masalah kesehatan di Indonesia sangat
memprihatinkan mulai dari munculnya penyakit – penyakit degenaratif, bencana
alam dan kemiskinan yang semuanya itu membuat masyarakat harus dikelilingi oleh
kondisi kesehatan yang kurang baik. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya
tenaga kesehatan perawat yang tersebar didaerah – daerah terpencil akibat tidak
rasionalnya penempatan tenaga kesehatan didaerah – daerah terpencil maupun
daerah – daerah sangat terpencil. Selain itu masalah – masalah sosial, ekonomi,
politik dan keamanan yang mempengaruhi penduduk, khususnya keluarga miskin
untuk dapat menjangkau pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes &
UI, 2005) menunjukkan, bahwa sebagian besar perawat (56.1%) melakukan asuhan
keperawatan dalam gedung Puskesmas dengan baik, (55.29%) melakukan asuhan
keperawatan keluarga dan (52.4%) sudah menerapkan asuhan keperawatan pada
kelompok dengan baik. Disamping itu, perawat juga melakukan tugas lain, antara
lain menetapkan diagnosis penyakit (92.6%); membuat resep obat (93.1%);
melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung puskesmas (97.1%);
melakukan pemeriksaan kehamilan (70.1%); melakukan pertolongan persalinan
(57.7%). Hal ini terjadi tidak saja di Puskesmas terpencil tetapi juga di
Puskesmas tidak terpencil. Selain itu (78.8%) perawat melaksanakan tugas
petugas kebersihan dan (63.6%) melakukan tugas administrasi antara lain sebagai
bendahara(1).
Tumpang tindih pada tenaga keperawatan maupun dengan profesi kesehatan lainnya merupakan hal yang sering sulit untuk dihindari dalam praktik, terutama terjadi dalam keadaan darurat maupun karena keterbatasan tenaga di daerah terpencil. Dalam keadaan darurat, perawat yang dalam tugasnya sehari-hari berada disamping klien selama 24 jam, sering menghadapi kedaruratan klien, sedangkan dokter tidak ada. Dalam keadaan seperti ini perawat terpaksa harus melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan pasien. Tindakan ini dilakukan perawat tanpa adanya delegasi dan protapnya dari pihak dokter dan atau pengelola Rumah Sakit. Keterbatasan tenaga dokter terutama di Puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola Puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Tindakan pengobatan oleh perawat yang telah merupakan pemandangan umum di hampir semua Puskesmas terutama yang bearada di daerah tersebut dilakukan tanpa adanya pelimpahan wewenang dan prosedur tetap yang tertulis. Dengan pengalihan fungsi perawat ke fungsi dokter, maka sudah dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai dan tentu saja hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara professional.
Tumpang tindih pada tenaga keperawatan maupun dengan profesi kesehatan lainnya merupakan hal yang sering sulit untuk dihindari dalam praktik, terutama terjadi dalam keadaan darurat maupun karena keterbatasan tenaga di daerah terpencil. Dalam keadaan darurat, perawat yang dalam tugasnya sehari-hari berada disamping klien selama 24 jam, sering menghadapi kedaruratan klien, sedangkan dokter tidak ada. Dalam keadaan seperti ini perawat terpaksa harus melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan pasien. Tindakan ini dilakukan perawat tanpa adanya delegasi dan protapnya dari pihak dokter dan atau pengelola Rumah Sakit. Keterbatasan tenaga dokter terutama di Puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola Puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Tindakan pengobatan oleh perawat yang telah merupakan pemandangan umum di hampir semua Puskesmas terutama yang bearada di daerah tersebut dilakukan tanpa adanya pelimpahan wewenang dan prosedur tetap yang tertulis. Dengan pengalihan fungsi perawat ke fungsi dokter, maka sudah dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai dan tentu saja hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara professional.
2.5.2. Alasan Perlunya Perlidungan Hukum
Dalam Praktek Keperawatan
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik
Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan
konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam
memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari
perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian
tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum,
bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi
keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang
tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh
etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup
profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak
(masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang
seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dankeselarasan.
2.5.3. Fungsi Hukum Dalam Pelayanan Keperawatan
Adapun fungsi hukum dalam pelayanan keperawatan yaitu,
sebagai berikut :
o
Memberikan
kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
o
Membedakan
tanggungjawab dengan profesi yang lain
o
membantu
mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakan posisi perawat
memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
2.5.4. Undang – Undang Dalam Praktek
Keperawatan
Berikut beberapa undang – undang tentang praktek
keperawatan :
1.
UU
No. 6 tahun 1963 tentan Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. Undang- undang ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, apoteker, dan dokter gigi. Tenaga perawat termasuk tenaga yang bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah. UU ini boleh dikatan sudah usang, karena dalam UU ini juga tercantum berbagai jenis tenaga sarjan keperawatan seperti sekarang ini.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. Undang- undang ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, apoteker, dan dokter gigi. Tenaga perawat termasuk tenaga yang bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah. UU ini boleh dikatan sudah usang, karena dalam UU ini juga tercantum berbagai jenis tenaga sarjan keperawatan seperti sekarang ini.
2.
UU
Kesehatan No. 18 tahun 1964 mengatur tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam UU ini, lagi- lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah, dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam UU ini, lagi- lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter.
3.
Dalam
SK Menkes No. 262/Per/Vll/1979 tahun 1979 yan membedakan paramedis menjadi dua
golongan yaitu golongan medis keperawatan (termasuk bidan) dan paramdis non
keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat di sini bahwa tenaga
bidan tidak terpisah tetapi juga termasuk katagori keperawatan.
4.
Permenkes
No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980, pemerintah membuat suatu peryataan yang
jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan.
5.
Surat
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 94/Menpan/1986,
tangal 4 nopenber 1986 menjelaskan jabatan fungsional tenaga keperawatan dan
system kredit poin. Sistem ini menguntungan perawat, karena dapat naik
pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya.
6.
UU
Kesehatan No. 23 tahun 1992 merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi
perkembangan keperawatan termasuk praktik keperawatan profesional, kerena dalam
UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak- hak pasien, kewenagan, maupun
perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
a)
Beberapa
peryataan UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah:
Pasal 53 ayat 1 mengatakan ; Tenaga
kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
b)
Pasal
53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak- hak
pasien ditetepkan dengan peraturan pemerintah.
c)
Pasal
50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelengarakan atau
melaksakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenagannya.
d)
Sedangkan
pada pasal 53 ayat 3 menyatakan bahwa ; Tenaga kesehatan, untuk kepentingan
pembuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan(3).
2.2.5 Undang - Undang Praktik Keperawatan Di Negara Tetangga.
Negara-negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu. Mereka siap untuk melindungi masyarakatnya dan lebih siap untuk menghadapi globalisasi perawat asing yang masuk ke negaranya dan perawatnya bekerja di negara lain. Ketika penandatanganan Mutual Recognition Arrangement di Philippines tahun 2006, posisi Indonesia, bersama dengan Vietnam, Laos dan Myanmar, yang belum memiliki Konsil Keperawatan. Semoga apa yang dilakukan oleh PPNI dapat mengangkat derajad bangsa ini dengan negara lain, khususnya dalam pelayanan kesehatan.
2.2.5 Undang - Undang Praktik Keperawatan Di Negara Tetangga.
Negara-negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu. Mereka siap untuk melindungi masyarakatnya dan lebih siap untuk menghadapi globalisasi perawat asing yang masuk ke negaranya dan perawatnya bekerja di negara lain. Ketika penandatanganan Mutual Recognition Arrangement di Philippines tahun 2006, posisi Indonesia, bersama dengan Vietnam, Laos dan Myanmar, yang belum memiliki Konsil Keperawatan. Semoga apa yang dilakukan oleh PPNI dapat mengangkat derajad bangsa ini dengan negara lain, khususnya dalam pelayanan kesehatan.
2.5.5.Subtansi RUU Praktik Keperwatan
Secara garis besar hal-hal substansial yang dimuat dan
ditampung dalam rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan ini antara lain
menyangkut:
1.
Pengaturan
kompetensi seorang tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
2.
Pengaturan
ijin praktik kaitannya dengan sertifikasi, registrasi dan lisensi.
3.
Akreditasi
tempat praktik dan orang-orang yang bertangung jawab terhadap praktik.
4.
Pengaturan
tentang keterkaitan antarapraktik dengan penelitian.
5.
Pengaturan
penetapan kebijakan yang sekarang ini ada pada departemen kesehatan.
6.
Ketatalaksanaan
hubungan antara pasien dengan perawat
7.
Penerapan
ilmu kaitannya dengan penapisan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
8.
Pemberian
sanksi disiplin(4).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Malpraktek adalah praktek
kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar
prosedur oprasional. Mal praktek juga dapat diartikansebagai kelalaian dari seorang dokter atau
perawat untuk menterapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang
lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di
lingkungan wilayah yang sama. Dampak dari malpraktek diantaranya :
1.
Merugikan pasien terutama pada fisiknya bisa menimbulkan
cacat yang permanen.
2.
Bagi petugas kesehatan mengalami gangguan psikologisnya,
karena merasa bersalah.
3.
Dari segi hukum dapat dijerat hukum pidana.
4.
Dari segi sosial
dapat dikucilkan oleh masyarakat .
5.
Dari segi agama mendapat dosa.
6.
Dari etika keperawatan melanggar eitka keperawatan bukan
tindakan professional.
Kemudian
perlindungan hukum dipraktek keperawatan bertujuan mengendalikan cakupan praktek
keperawatan, ketentuaan, perizinan bagi perawat, dan standar asuhan adalah
melindungi kepentingan masyarakat .perawat yang mengetahui dan menjalankan
undang-undang praktik perawat serta standar asuhan akan memberikan layanan
keperawatan yang aman dan kompeten.
3.2 SARAN
1. Perlunya
kehatian-hatian seseorang tentunya keperawatan dalam melakukan suatu tindakan
agar tidak terjadi sesuatu yang dapat menyababkan kejadian yang fatal
akibatnya.
2. Adanya berbagai
pendekatan yang bersifat persuasif, konsultatif dan partisipatif semua pihak
(Stake Holder) yang terkait dalam penyelenggaran Praktik Keperawatan
berorientasi kepada pelayanan yang bermutu.
3. Perlu adanya
peraturan perundang-undangan dibidang keperawatan yang diselenggarakan oleh
tenaga keperawatan dapat mengayomi dan bersikap mendidik sekaligus bersifat menghukum
yang mudah dipahami dan dilaksanakan, karena penyelenggaraan praktik
keperawatan menyangkut berbagai pihak sehingga yang terkait hendaknya bersifat
proaktif dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut.
4. Setelah mengatahui
perkembangan UU yang mengatur tentang praktek keper awatan, sebagai calon
perawat atau mahasiswa keperawatan harus meningkatkan mutu belajar agar
memiliki kemampuan berpikir rasional dalam menyalankan tugas sebagai perawat
profesional.